Aduh mungkin boleh dibilang ketinggalan zaman, boleh deh. Tapi karena biasanya kalo orang dah bilang bagus, baru aku beli tuh buku, nah karena melihat Dewi terobsesi untuk membeli Filosofi Kopi – buku karya Dee – Dewi Lestari 2006, aku pun akhirnya tertarik dan ikutan memesan buku tersebut.
Dan akhirnya setelah satu bulan menunggu buku itu datang, Filosofi datang juga di tangan, meski sampulnya berbeda dengan buku pertama, buku bersampul kopi, memang sih buku ini bercerita tentang Barista – Ben, yang punya mimpi memberikan kesempurnaan.
Dewi Lestari sangat piawai membawa kita terpana dalam cerita Filosofi kopi, mengajak kita berpetualang dan menikmati kopi, untuk kopi sendiri aku menyukai cappucino, kopi yang membutuhkan kesempurnaan, rumit dan butuh proses. Jika pengen yang lebih manis dan lebih soft aku pilih coffelatte.
”Filosofi Kopi” berhasil menohok soal kopi secara cerdas. Kumpulan cerpen yang terdiri dari 18 tulisan ini merangkum tulisan Dee yang ia kumpulkan selama periode 1995-2005.
Fiosofi Kopi bercerita tentang obsesi Ben untuk menemukan racikan kopi yang sempurna, hingga dia rela pergi ke berbagai pelosok dunia hanya untuk mencari racikan kopi yang sempurna. Hasil pengembaraanya kemudian dia wujudkan dengan mendirikan kafe bersama temannya, Jody.
Untuk memberikan kesan, kopi racikan Ben selalu hadir bersama pesan yang dicetak dalam selembar kartu, yang menjelaskan karakter dari kopi yang akan diminum setiap tamunya. Kafe Ben menjadi ramai karena setiap pengunjung bebas memilih kopi yang sesuai dengan karakter mereka.
Puncaknya Ben ditantang untuk membuat kopi yang jika merasakan langsung terhipnotis dengan kesempurnaan. Akhirnya Ben berhasil membuat kopi yang diberi nama ”Ben Perfecto.” Kopi yang dijual Ben sungguh mahal harganya. Anehnya, orang mau saja membeli kopi mahal itu.
Ben merasa inilah puncak pencapaian obsesinya, hingga suatu hari ia kedatangan seorang pengunjung tua yang memesan ”Ben Perfecto.” Sayang, bapak tua itu mengatakan kopi itu sama enaknya dengan kopi tiwus.Ben pun langsung menginterogasi bapak tersebut, dan akhirnya membawa ke kedai kopi sederhana milik Pak Seno. ”Kopi Tiwus” – kopi pak Seno tidak mahal, bahkan tidak punya harga pasti. Di kedai Kopi Pak Seno, Ben menemukan kesederhanaan yang sudah lama dia lupakan. ”Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tidak mungkin kamu sembunyikan.”
Namun akhirnya kopi tiwus berhasil kembali menyatukan Ben dan Jody dan membuka kembali kedai yang tutup akibat keterpukulan Ben.
Ya memang sih, “dalam hidup ini tidak ada yang sempurna, namun beginilah hidup dengan apa adanya.”
Wah, belum mbaca. Entar kalo pulang kucari deh… Sembari minum kopi.
>>> buat masboy, emang enak sambil minum kopi jadi terasa bener kopinya heheheheheh 🙂
Hot CoFFee …