Valentine’s day entahlah kenapa hari ini menjadi hari ini menjadi icon dalam menyalurkan kasih sayang. Valentine’s day menjadi moment yang seakan ‘rugi’ untuk dilewati, dengan warna pink dan makanan coklatnya yang khas, hari ini dianggap sebagai ruang waktu berkasih sayang, terutama kepada sang kekasih.
Sepertinya setiap hal yang berbau “impor” kebarat-baratan menjadi wajib hukumnya untuk diikuti, entah itu model rambut, gaya berpakaian, hingga gaya hidup pun tidak ketinggalan harus juga diikuti.
Sepertinya virus itu akan terus menular, aku bukannya tidak suka urusan yang berbau kebarat-baratan… bukan, ada beberapa pola hidup yang aku suka, seperti jika sudah berumur 21 tahun, anaknya boleh tinggal sendiri, ini yang aku suka lebih menunjukkan bentuk kemandirian.
Tapi kenapa mesti mensakralkan satu hari untuk kasih sayang, toh kasih sayang bisa dilakukan setiap hari, setiap menit, setiap detik kepada orang yang kita kasihi terutama orang tua dan keluarga kita.
Okelah kalo hanya sekedar untuk bertukar kado aja, tapi kalo mesti pesta dan hura – hura huuuuugggsssss…. aku tidak mengerti legitimasi akan “yes”nya perayaan Valentine. Valentine sangat kental dengan misi dan nilai agama Kristiani, bahkan termasuk persoalan teologis Kristen.
Asal sejarah lahirnya perayaan Valentine bermula dari raja Claudius II (268-270 M) yang mempunyai kebijakan melarang bala tentaranya untuk menikah. Karena, bagi Claudius II, dengan tidak menikah, para prajurit akan menjadi agresif dan siaga dalam berperang.
Kebijakan ini mendapat perlawanan dari Santo Valentine dan Santo Marius dengan melakukan perkawinan secara diam-diam. Akhirnya, perilaku kedua Santo tersebut diketahui oleh raja Claudius II, kemudian memberi hukuman mati kepada Valentine dan Marius. Akhirnya, kematian kedua “pejuang cinta” tersebut diresmikan oleh Paus Galasius pada 14 Pebruari 469 M sebagai hari Valentine. Dan mereka melakukan pesta seks.
Ungkapan Valentine ditarik ke dalam kancah budaya yang hanya “sekedar sarana penyampaian perhatian, kasih sayang”. Titik krusialnya adalah, jika harus dibungkus dalam bahasa budaya, bukankah budaya Valentine lahir dari produk agama?
“alhikmah dhallat lilmukminin, aina wajadaha fahuwa ahaqqu biha”
kebaikan itu banyak telah hilang dari kaum muslimin, maka dimanapun kamu menemuinya, kamu lebih berhak untuk menerimanya
Saat ini MUI memfatwakan perayaan Valentine’n day bagi seorang muslim hukumnya Haram.
“al-ridha bi al-syai’I, ridha bima yatawalladu minhu”
menyukai sesuatu, berarti menerima efek yang dilahirkannya
boleh aja itu bukan yang terlalu berlebihan
yang ado hura2 di hari ini
g bgs valentine day bwt muslim. karena tidak sesuai dengan akhlaq muslim yang sesungguhnya..setiap ajaran agama masing2 ada arahnya sendiri2….
setuju banget valentine days haram….
| http://wp.me/pNSds-T |
[ If you are a muslim, please don’t celebrate valentines day]
thank you so much all SOA Crew, is not finished
yes…. I don’t celebrate valentine’s day
Ralat: dituliskan setelah ditetapkan paus. Lalu mereka melakukan pesta sex.
Kok kata2nya ambigu, emangnya para paus melakukan pesta sex? Nyari referensi yang bener dong, yang bener orang romawi merayakan valentin dengan pesta sex, dengan cara melempar undi. Huh…
terima kasih… atas koreksinya ^..^
semua tergantung sudut pandangnya.
daripada sibuk mengoreksi orang lain, akan lebih baik jika mengoreksi diri sendiri bukan???
harap2..selepas sesiapa yg tlh mmbaca artikel ini, april fool tlh kurang di sambur… insyaalah