Judul diatas bukan sekedar ajakan main-main belaka. Ajakan tersebut adalah bentuk keseriusan kita untuk menyelamatkan aset yang dimiliki agar anak cucu kita bisa menikmatinya.
Mungkin sekarang kita belum begitu merasakan dampak akibat kerusakan hutan yang terjadi saat ini. Jika di musim penghujan ini, dampak kerusakan hutan adalah banjir yang melanda di daerah hilir, akibat kerusakan hutan di daerah hulu sungai.
Belum lagi saat musim kemarau, kebakaran hutan yang dengan alasan klasik untuk membuka lahan malah menyebabkan ekspor asap ke negara luar. Apakah Indonesia akan seperti ini terus menerus?
Nasib bumi yang saat ini dihuni sekitar 6 milyar jiwa manusia sedang dipertaruhkan. Hutan Indonesia sekarat, hutan dunia pun ikut sekarat. Proses degradasi hutan berlangsung dengan sangat cepat. Menurut catatan WWF setiap menit di dunia terjadi kerusakan hutan seluas sama dengan 37 lapangan bola.
Indonesia kini semakin dipertanyakan sebagai salah satu negara yang berfungsi sebagai paru-paru dunia karena hutan tropisnya yang luas itu semakin terkikis. Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, tidak hanya dilakukan masyarakat kecil tapi juga perusahaan besar yang dilindungi oleh oknum – oknum pejabat. Selain itu, tidak hanya masalah pembakaran hutan, hal yang menyedihkan lainnya adalah pembalakan liar.
Berdasarkan catatan Kementrian Kehutanan sekurang-kurangnya 1,3 juta hektar Indonesia menyusut setiap tahun. Dari pantauan satelit dalam tigapuluh tahun terakhir ini Indonesia telah kehilangan sepertiga luas hutan tropisnya. Jika di awal tahun enampuluhan hutan tropis masih
sekitar 150 juta hektar kini tinggal 90 – 100 juta hektar.
Sebagai contoh kecil di Sumatera Selatan, luas hutan di Sumsel tersisa 1 juta hektar dari luas total 3,7 juta hektar. Bahkan dalam kunjungan Greenpeace yang melakukan pemantauan bersama Gubernur Sumsel Alex Noerdin awal Desember silam.
Pembalakan liar di hutan Merang, Bayunglincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, masih marak terjadi. Dalam pemantauan tersebut, sedikitnya ada 12 lokasi penimbunan kayu hasil pembalakan liar. Kayu hasil tebangan sebagian besar sudah dibentuk rakit panjang, yang siap dikeluarkan dari hutan dengan cara dihanyutkan.
Dari luas hutan Merang 200.000 hektar kini tinggal 90.000 hektar yang kondisinya masih baik. Padahal kawasan hutan gambut di Sumsel ini merupakan proyek percontohan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) yang kondisinya terancam rusak.
Selain itu, awal tahun 2011 ini adalah saat dimulainya moratorium alih fungsi hutan sesuai perjanjian Indonesia dengan Norwegia. Hutan ini adalah bagian dari paru – paru dunia yang harus dilindungi.
Apa yang harus dilakukan untuk melindungi hutan kita, tidak lain jawabannya bukan dari menanam pohon, tetapi lebih dari itu adalah melindungi pohon yang telah tumbuh dan besar, karena satu pohon yang ditanam tidak sebanding dengan satu pohon yang ditebang.
Selain diperlukan peran dari pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, pihak Kepolisian Daerah Sumsel, peran serta pengawasan dari masyarakat juga diperlukan.
Sebagai pribadi kita juga harus meningkatkan kesadaran untuk mulai mengurangi penggunaan barang – barang yang berbahan baku dari kayu. Karena saat ini lebih dari 60 juta meter kubik tiap tahun dibutuhkan untuk industri berbahan baku kayu tersebut. Data dari Kementrian Kehutanan , volume kayu yang bisa ditebang secara lestari dari kawasan hutan Indonesia adalah sekitar 20 atau paling 22 juta meter kubik tiap tahun.
Ada hal sederhana yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan hutan kita yakni dengan tidak menggunakan tissue. Dengan mengubah perilaku dan kebiasaan penggunaan tissue kita juga telah menyelamatkan hutan warisan bagi anak cucu kita.
Memang penggunaan tissue dalam kehidupan modern seperti saat ini, tak dapat dipungkiri, lihat saja hampir setiap saat tissue digunakan, tidak hanya berada di dalam tas, di atas meja makan baik di rumah ataupun restoran, namun tissue juga ada di setiap toilet hotel, mall dan perkantoran.
Memang efisiensi tissue tak terbantahkan, namun efek domino dibalik penggunaannya juga tak dapat dipungkiri. Bayangkan jika seluruh pihak mulai mengganti penggunaan tissue dengan sapu tangan dan serbet, tentunya akan memberikan kontribusi penyelamatan hutan.
Tissue terbuat dari pulp (bubur kertas) yang berasal dari batang pohon akasia dan eucalyptus yang diproses secara kimia. Untuk membuat tissue, produsen harus membuat perkebunan akasia dan eucalyptus (contohnya usaha yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada di Muara enim Sumatera Selatan ). Tentunya hal inilah yang mempengaruhi degradasi hutan akasia dan eucalyptus.
Koesnadi dari Sekjend Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) memberikan hitungan sederhana penyusutan Hutan Alam Indonesia akibat dari penggunaan tisu oleh masyarakat. Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta orang dan setiap satu harinya 1 orang menggunakan ½ gulung kertas tisu. Artinya penggunaan kertas tisu bisa mencapai 100 juta gulung tisu per hari, berarti per bulan nya pemakaian tisu di indonesia mencapai 3 milyar gulung. Bila berat kertas tissu itu 1 gulung mencapai ¼ kg, 3 milyar dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan 750.000 Ton, Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 5 m3 kayu bulat, dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 up) sudah bisa ditebak penggunaan hutan untuk urus kebersihan mencapai ratusan ribu hektar setiap bulannya.
Ini baru angka untuk penggunaan tissue, belum lagi dengan hitungan untuk penggunaan kertas tulis dan berbagai jenis kertas lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan. Berapa banyak kertas yang dihabiskan oleh perusahaan, perkantoran. Mari mulai menghitung ya!
Semakin menyusutnya luas hutan akan berdampak erosi tanah yang menandakan ketidakmampuan tanah untuk menyerap air tanah. Sehingga diprediksi dalam 50 tahun mendatang, kita akan kekurangan air tanah, yang sama dengan kita akan mengalami krisis air bersih.
Selain masalah diatas, kemampuan hutan untuk menyerap CO2 juga menurun. Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfir menyebabkan tingginya suhu bumi yang berdampak pada gangguan keseimbangan lingkungan hidup di biosfir bumi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global ( Global Warming) yang menjadi ancaman yang sangat nyata bagi penduduk dunia karena Global Warming telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap muka air laut (Sea Level Change).
Diperkirakan terjadi kenaikan muka air laut 50 cm pada tahun 2100 (IPCC, 1992). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, meskipun perubahan muka air laut juga dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal (tektonic), peningkatan muka air laut (Sea Level Rise) akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan. Peningkatan muka air laut akan menggenangi banyak areal ekonomis penting, seperti : permukiman dan prasarana wilayah, lahan pertanian, tambak, resort wisata, dan pelabuhan.
Tergenangnya jaringan jalan penting seperti di pesisir utara Jawa, jelas berpengaruh terhadap kelancaran transportasi orang dan barang. Diproyeksikan 3.306.215 penduduk akan menghadapi masalah pada tahun 2070. Lima kota pantai (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar) akan menghadapi masalah serius karena kenaikan muka air laut setinggi 60 cm (ADB, 1994). Demikian pula dengan perkiraan hilangnya 4 ribu pulau (Menteri Kimpraswil, Kompas 8 Agustus 2002).
Sebagai bentuk catatan, ketika hutan kita rusak, ekosistem pun terganggu, tumbuhan dan binatang yang hidup didalamnya pun ikut terancam punah. Dan tentunya kehidupan manusia pun ikut terganggu. Apakah untuk semua keseimbangan ekosistem ini, kita rela menggadaikan warisan yang paling berharga dalam kehidupan.
Sumber:
– Hutan Sumatera: Si Hijau yang Kian Rentan
– Pembalakan di Hutan Merang Masih Marak
– Astaga, Hutan di Sumsel Makin Rusak
– Dari Tisu Menuju Kerusakan Hutan Alam dan Global Warming
– 2,6 Juta Hektare Hutan Sumsel Rusak
Lama tak berkunjung dui rumah suzan, eh sekarang sudah punya rumah baru. Selamat ya dengan rumah barunya, semoga sukses.
Btw, membaca tulisan nya jadi ikut mikir hanya gara-gara kertas tisue yang bisa membantu mengurangi penghacuran ratusan hektar hutan seandainya kita bisa menghemat setengah gulung tisue/hari.
tapi tisue gulung tidak bisa tergantikan dengan lap serbet untuk urusan toiletSemoga hutan Indonesia masih bisa menjadi paru-paru dunia. (harapan yang hanya tinggal harapan)Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Waduh ada mas Sugeng, heheheheh 😀
Makasih mas, sama – sama semoga sukses selalu juga mas 😀
#UpdateBlog dari @suzannita : Selamatkan Hutan Kita : https://bit.ly/fuICxT
nice post. thanks.
memang tissue paling enak , krn sesudah dipakai bs langsung dibuang…..nah.. kl emang bkn rusak alam,gak usah ada pabrik tissue aja biar mns kembali ke saputangan or lap…