Kupanggul Sekarung Cinta

Kupanggul Sekarung Cinta

By Suzannita

Publish on #iCare (7)

Review Buku #iCare (7)
Buku #iCare (7)

Titik-titik hujan masih menyisakan tandanya, dingin yang menyergap seakan ikut menyeruak kedalam hati. Aku berdiri diatas bukit menghadap ke laut. Pikiranku terlempar hingga beberapa tahun silam. Masa lalu yang ingin kukubur dalam-dalam, kututup rapat agar tak ada orang yang tahu kisahku. Karena jika ada yang mengetahui keberadaanku, jiwaku melayang.

Raut wajah itu tak dapat kulupakan dari pikiranku. Penyelamat hidupku. Semua tergambar jelas, potongan demi potongan adegan kehidupan yang kami lalui bersama bahkan sejak aku belum menghirup nafas di dunia.

April, 1981

Malam itu, hujan deras membasahi bumi. Kilat menyambar, guntur bersahutan. Klinik Bersalin Cahaya Insani, dikejutkan dengan seorang wanita hamil tua yang terjatuh dan merintih kesakitan di depan pintu klinik.

“Tolong… tolong…” seorang satpam menghampiri wanita hamil yang jatuh didepan pintu tersebut. “Ibu, tidak apa-apa?” Tanya sang Satpam.

“Tolong, saya mau melahirkan pak, ketuban saya sudah pecah pak, tolong pak” Jawab si Ibu.

Seorang perawat yang mendorong brangkar langsung menghampiri wanita hamil tersebut. “Pak, tolong bantu saya memindahkan ibu ini ke ruang persalinan” pinta perawat.

“Baik, mbak… tapi bagaimana caranya kita menolong ibu, malam ini hanya mbak yang bertugas” ujar Satpam.

“Kita akan berusaha pak, bantu saya untuk menolong ibu, sepertinya sangat tidak mungkin untuk membawannya ke rumah sakit daerah. Hujan sangat deras, sepertinya badai sudah datang juga pak, pastinya tak ada kapal yang bersedia mengantarkan kita” jawab Perawat.

“Ibu… ibu masih sadar, nama Ibu siapa?” Tanya perawat. “Apa Ibu masih kuat, kita harus menyelamatkan bayi Ibu, ketuban Ibu sudah pecah”

“Saya kuat, saya masih kuat, saya Anelia, tolong bantu saya sus, saya ingin melahirkan bayi ini suster” pinta Anelia.

“Ibu, peralatan kami sangat sederhana, jadi kita harus saling membantu, selain itu, sekarang dokter tidak ada ditempat. Hanya ada saya dan pak Satpam” jelas perawat.

Hujan terus turun dengan derasnya, angin berhembus sangat kencang. Klinik yang berada ditengah pulau itu menjadi saksi lahirnya sang pewaris.

“Huaa… huaa… huaa…” Tangis bayi memecah keheningan malam.

“Selamat, ibu Anelia… bayi anda perempuan, cantik sekali sama seperti anda” perawat menghampiri dan menyerahkan bayi mungil kepada Anelia.

 “Siapa namanya bu, apakah namanya sudah disiapkan?” Tanya perawat.

Anelia hanya diam memandangi putri yang baru dilahirkannya. “Putri, namanya Putri Anelia Wisesa” batin Anelia.

“Baiklah ibu Anelia, saya permisi dulu, sebaiknya ibu beristirahat, karena ibu sudah cukup lelah dengan seluruh proses persalinan ini” ucap Perawat dan beranjak keluar dari kamar Anelia.

“Suster…” panggil Anelia “nama Suster siapa?” Tanya Anelia. “Panggil saya Warsiah, bu” jawab Perawat. “Terima kasih, suster Warsiah” balas Anelia.

Anelia terlelap dalam tidur sambil mendekapku. Aku tahu, ibu sangat menyayangiku dan berjuang mati-matian agar aku tetap hidup.

Agustus,1988

Hari demi hari terus berlalu, aku tumbuh dengan baik. Kehidupan tenang di tengah pulau, berteman dengan alam dan dongeng sang Ibu. Aku tumbuh dengan baik dan semakin bijak. Bagi ibu, aku adalah bintang kehidupannya yang terus bersinar.

Aku pernah bertanya tentang ayah, namun ibu memilih diam dan menangis. Sejak itu, aku tak pernah ingin menanyakan hal yang membuat ibunya sedih.

Kebahagianku dan Ibu tak berlangsung lama. Usiaku saat itu 7 tahun, ketika tiba-tiba datang beberapa laki-laki berpakaian hitam dan mengobrak abrik rumah kami. Beruntung ibu mendapatkan kabar kedatangan mereka terlebih dahulu, sehingga kami bisa bersembunyi dari mereka.

“Putri, kita harus pergi dari sini” ajak Ibu.

Ibu sudah mengemasi barang-barang yang diperlukan, hanya ada satu tas dan beberapa potong pakaian. Aku hanya diam dan bingung melihat ibu yang ketakutan dan sesekali menitikkan air mata.

Kami berdua meninggalkan rumah dengan diam-diam dan berlalu ke sisi selatan pulau. Ternyata disana sudah ada kapal yang menunggu kami. Aku peluk Ibu dengan erat, agar dia menjadi kuat. Terbayang jelas di wajahnya ketakutan yang tak kuketahui apa masalahnya.

Kapal bergerak meninggalkan pulau tempat kami menghabiskan waktu selama ini. Malam itu, sepertinya menjadi malam terpanjang yang kulalui. Aku terbaring dilantai kapal, kupandangi bintang yang berkelap kelip, seolah memainkan matanya kepadaku dan memberikanku kekuatan.

Dua hari di kapal akhirnya kami tiba di sebuah kota. Namun sepertinya tidak banyak penduduk yang tinggal di kota itu, karena tak banyak aktivitas yang kulihat. Pintu pada bangunan yang berjejer dikota itupun tertutup rapat.

“Putri, kita sudah tiba, tapi kita harus berjalan cukup jauh” ujar Ibu sambil memegang tanganku dengan erat. “Kita harus bergegas sebelum matahari gelap” sambung Ibu.

“Kita ada dimana bu?” Kenapa semua pintu di kota ini tertutup bu, aku takut bu” kueratkan pegangan tangan pada Ibu.

“Kita ada ditempat yang aman, tenang ya saying, sebentar lagi kita sampai, tak ada yang perlu kamu takutkan ya” Ibu memandangku sambil berusaha menenangkanku.

Aku baru menyadari, tak ada lagi gedung yang berjejer dipinggir jalan, kini semuanya pohon cemara. Semakin lama perjalanan kami semakin menanjak. Udara semakin terasa dingin, dan aku mulai menghembuskan asap dari mulut, nafasku mulai tersengal-sengal.

“Sabar ya sayang, sebentar lagi kita sampai” dan tiba-tiba ibu menarikku ke punggungnya. Aku pun kini berada dipunggungnya, menikmati hangatnya punggung ibu.

“Ah… akhirnya kita sampai juga” seraya menurunkanku, Ibu pun terduduk lemas bersandar ditiang rumah yang terbuat dari kayu.

“Ini rumah siapa bu” Aku bertanya sambil melihat bangunan rumah yang berada tepat didepanku.

Sambil menyerahkan kunci, ibu berkata “Putri, ini kuncinya dan bukalah pintunya, jangan takut ini rumah kita, sekarang kita tinggal disini” lanjut Ibu.

Aku pun mengambil kunci dari tangan Ibu. Setelah dua kali putaran, kudorong pintu dan aku pun terkejut karena disana kulihat jelas ada fotoku bersama Ibu saat masih tinggal di pulau.

Tanda tanya terus berputar dikepalaku, kenapa ibu pergi meninggalkan pulau dengan tiba-tiba, kenapa ibu tampak ketakutan dan kenapa kini kami tinggal di rumah yang ada fotoku dengan Ibu.

Aku membawa tas kedalam kamar. Rumah ini hanya ada satu kamar, dengan satu ruang tamu dan satu ruang makan yang bergabung dengan dapur, serta satu kamar mandi dikamar.

Bangunan rumah ini berada di puncak bukit. Saat melihat kebawah terlihat jelas, kota yang kulewati tadi, dan sepertinya rumah ini bisa memandang 360 derajat ke seluruh penjuru kawasan ini.

Setelah makan malam dan membereskan piring, aku menghampiri Ibu dan memeluknya.

“Ibu, tolong jujur kepadaku, ada apa semua ini” pintaku pada Ibu. “Aku memang masih kecil bu, masih belum mengerti semuanya, tapi setidaknya aku tidak bertanya-tanya terus bu”.

Ibu tetap diam dan terus memandang kearah laut, memperhatikan dengan seksama seperti memastikan kami bisa melewati malam ini dengan aman.

Aku pun menyerah karena badanku sangat capek dengan perjalanan yang jauh ini. Aku masuk kekamar dan langsung merebahkan diri di kasur. Tak berapa lama, ibu pun menyusulku ke kamar.

Meski ibu tidak bercerita, namun aku sadar, ibu berjuang agar kami selamat dan bisa hidup dengan tenang. Bahunya yang hangat langsung memelukku. Aku merasa sangat nyaman berada dipelukannya.

Keesokan paginya, kulihat Ibu sudah menyiapkan sarapan, ada segelas susu dan pancake madu. Ternyata persediaan makanan di rumah ini sangat lengkap. Aku pun kembali bertanya-tanya.

Selama sarapan kami hanya diam, hanya ada suara garpu dan pisau beradu diatas piring. Tiba-tiba Ibu berhenti dan berbicara.

“Putri, kamu mau tahu siapa kamu sebenarnya kan” ucap Ibu. “Baiklah, ibu pikir kamu harus tahu, agar kamu tidak terus bertanya-tanya” sambung Ibu.

Ibu pun mulai bercerita pertemuannya dengan Ayah. Keduanya sangat mencintai alam dan petualangan, rumah yang kami tinggali selama ini dan rumah yang baru ini adalah rumah mereka. Begitupun dengan kapal yang kami tumpangi kemarin.

Ayahku, Ranggasa Wijaya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku berdarah biru, namun Ayah lebih memilih hidup di luar dan menjadi sederhana. Sedangkan Ibu adalah anak tunggal di keluarga Bayu Saputra. Hanya saja orangtua Ibu meninggal saat Ibu duduk di kelas 2 SMA.

Karena kecintaannya pada alam dan Ayah, Ibu lebih memilih hidup bersatu dengan alam dibandingkan hidup bergelimang harta.

Hal yang mengejutkan dari cerita Ibu, selama ini Ibu menghindari kejaran mafia perdagangan kayu. Saat petualangan mereka di wilayah La Tuo, mereka terkejut dengan penemuan ratusan batang pohon yang berukuran dua kali pelukan orang dewasa di sungai, kapal-kapal pun bersiap memindahkan kayu tersebut.

Wilayah itu adalah surganya kayu, karena masih memiliki hutan perawan. Ibu dan Ayah berusaha mencegah perdagangan kayu illegal. Keberanian dan kenekatan Ayah berbuah buruk karena berusaha mematikan alat-alat pemotong kayu, membuang minyak dari mesin – mesin mereka.

Naasnya Ayah dan Ibu dipergoki oleh ketua mafia yang saat itu sedang berada di lokasi. Sang ketua pun memerintahkan anak buahnya menghabisi nyama Ayah dan Ibu.

Keduanya berusaha lari dari kejaran pria yang berpakaian hitam-hitam itu. Ibu yang sedang mengandung diriku, tak dapat berlari jauh. Ibu pun disuruh bersembunyi dibalik lubang pohon tua yang sudah tumbang.

Sayang, nyawa Ayah tak terselamatkan lagi. Ayah hanya berpesan kepada ibu untuk membesarkan dan merawatku dengan baik. Jenazah Ayah, diambil keluarganya dan Ibu diusir dari keluarga Ayah. Karena mereka menilai Ibu telah membuat Ayah meningal.

Kini setelah sekian tahun menghilang, ibu tak menduga dirinya terus dicari oleh para mafia yang telah merenggut nyawa Ayah.

“Putri, apakah kamu ingin pergi ke makam Ayah dan bersilaturahmi dengan nenek” tanya Ibu.

Aku yang sedang memandang ke laut menoleh kearah Ibu. Aku mengalihkan pembicaraan dan bertanya “Ibu, apa disini hanya tinggal kita berdua saja? Kenapa ada kapal mendekat dan sepertinya mau bersandar didermaga”

Ibu langsung mendekatiku sambil membawa teropong. Ibu bergumam “Kenapa mereka bisa tahu tempat ini, hanya ada dua orang tahu, Ibu dan Wade, pelayan di rumah pulau”.

“Kita harus bersembunyi Putri  dan menyelamatkan diri, mereka tidak segan-segan menghabisi nyawa orang” Ibu langsung menarik tanganku, membawa tas dan meninggalkan rumah.

Aku tahu kali ini masalahnya menjadi lebih serius, aku merasakan ketakutan yang sama seperti Ibu. Kami berlari kecil mengitari jalan setapak. Langkah kami terhenti didepan sebuah gua. Ibu pun meletakkan aku didalam gua, dan menyalakan lilin.

“Putri, tunggu disini ya, jangan kemana-mana, sampai ada yang memanggil Edelweiss, itu nama yang diberikan Ayah kamu dan Putri ingatlah jadilah kebanggaan Ibu”.

Aku hanya diam dan tiba-tiba rasanya aku akan berpisah dengan ibu, aku pun langsung memeluk ibu dan berkata “Jangan tinggalin Putri bu, Putri takut”.

Ibu berusaha menenangkanku “Tenang sayang, ibu hanya ingin mengalihkan perhatian mereka, setelah ini tak ada lagi yang akan menyakiti kita karena kau akan menjadi pewaris, berkuasa penuh dan banyak orang yang akan melindungimu”

Kemudian ibu mengeluarkan karung dan mulai mengisi dengan batu-batu. Karung yang telah penuh berisi batu itu disusun didepan mulut jurang. Ibu memanggul karung dan menumpuknya. Ibu membuat simpul agar saat satu karung batu jatuh ke jurang, simpul yang berada ditanah dan sudah disamarkan dengan rumput akan menarik semuanya kaki yang menginjak simpul tersebut.

Tiba-tiba, serombongan laki-laki berpakaian hitam datang dan mendekati Ibu. “Hey, kini kau tak dapat lagi melarikan diri. Keluargamu tidak akan menyelamatkan kamu” bentak laki-laki bertubuh besar.

 “Apa lagi yang kau inginkan dariku” jawab Ibu.

“Aku hanya inginkan kematianmu”. Tiba-tiba laki-laki berpakaian hitam itu langsung berlari dan berusaha mendorong Ibu ke jurang.

Ibu menghindar ke samping dan akhirnya kedelapan laki-laki itu tertarik batu terjun ke jurang. Hanya saja ada satu laki-laki yang bertahan diranting yang ada disisi jurang, laki-laki itu langsung menarik kaki Ibu.

Ibu terjatuh dan tergelincir ke jurang, tangan ibu berusaha menggapai pinggir jurang. Laki-laki bertubuh besar itu, masih menarik kaki Ibu. Aku yang melihat adegan langsung menghambur ke luar dan menghampiri ibu. Sayang aku tak kuasa menahan berat badan ibu.

“Ibu, bertahan , pegang tanganku bu”

“Iya, sayang… Ibu sayang kamu” ucap Ibu. Usai mengatakan hal itu, ibu melepaskan genggamanku dan terhempas di sisi jurang”

“Ibu… Ibu…” teriakku.

Aku terduduk lemas di bibir jurang, air mataku mengalir deras.

Tiba-tiba pundakku disentuh dan seseorang berkata “Edelweiss… kamu Edelweiss”

Aku tersedu, “Ibu… Ibu jatuh ke jurang ditarik oleh orang jahat itu”

Laki-laki itu langsung menggendongku, sementara beberapa laki-laki lain berusaha turun ke jurang mengambil jasad Ibu.

“Panggil saya Bayu” ucap laki-laki itu. “Tenang Edelweiss, kamu sekarang sudah selamat”

Mereka adalah utusan dari nenekku, sebelum meninggalkan pulau, Ibu sempat meminta tolong kepada nenek untuk menyelamatkan kami. Sayang, mereka terlambat dan Ibu kini telah tiada.

Setelah berhasil mengevakuasi Ibu, kami pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan menggunakan helikopter.

“Maafkan kami Ndoro… kami terlambat, ternyata mereka lebih dulu, Ibu Putri meninggal terjatuh saat ditarik oleh para penjahat itu” lapor Bayu.

Nenek langsung menghampiri dan memelukku. “Maafkan nenek sayang, nenek salah, harusnya nenek tidak membiarkan Ibumu dan kamu pergi saat pemakaman Ayah kamu. Kini nenek harus berhadapan lagi dengan kehilangan Ibumu”

Aku hanya diam dengan air mata yang terus mengalir di pipi.

“Nenek sadar, kini nenek tidak mau lagi kehilangan kamu, maafkan Nenek ya sayang. Kita tidak dapat merasakan kehilangan, sebelum kita benar-benar kehilangan. Hal ini sangat menyakitkan, nenek sadar keluarga adalah segalanya dan sekarang kamu adalah segalanya” sambung nenek.

April,2011

“Ibu Edelweiss, apakah besok sudah yakin mengosongkan semua jadwal” tanya Sani, sekretarisku.

“Iya, saya harus pergi ke suatu tempat” jawabku.

“Padahal besok Ibu merayakan ulang tahun ke 30, apakah tidak ada yang special bu”. Sani berusaha mengingatkan hari ulang tahunku.

“Besok, ibuku juga berulang tahun, saya berjanji ke mau kesana, usai dari sana saya akan buat syukuran kecil-kecilan di rumah” jawabku.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan di kantor, aku pun langsung menuju Pulau Alenia. Ya, pulau itu sama seperti nama Ibu dan namaku. Karena pulau itu memang milik Ibu.

Usai pemakaman Ibu. Aku langsung dirawat oleh Nenek, namaku berubah menjadi Edelweiss Anelia Wisesa. Tapi semua orang di rumah masih memanggilku dengan nama Putri.

Alam tetap menjadi inspirasiku, bahkan aku mendirikan yayasan kepedulian lingkungan dan alam. Yayasan itu bertugas mengawasi hutan-hutan, menanam kembali dan merawat pohon.

Aku berjalan menyusuri bukit, pohon dan akhirnya aku tiba di tepi jurang tempat yang paling kubenci seumur hidup, karena disinilah aku terpisah dengan ibu selamanya.

“Ibu, selamat ulang tahun, hari ini kupanggul sekarung cinta sebagai kado ulang tahun” ucapku lirih. “Ibu sangat menyukai mawar merah dan inilah sekarung mawar merah tanda cintaku bu” .

Kuturunkan sekarung mawar dari punggungku. Dan kutebarkan mawar itu ke jurang. Dan tiba-tiba aku merasakan kehadiran Ibu. Hawa dingin terasa ditengkukku.

Tiba-tiba aku melihat wajah Ibu “Anakku, sayangilah alam dan alam akan menyayangimu, seperti mawar-mawar ini yang selalu memberikan warna, keindahan, dan keharuman bagi kita. Jika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bersatu membantumu”. Aku pun memeluk Ibu.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Translate »
HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com