Hampir selama satu bulan terakhir 10 wilayah di Sumatera Selatan terendam banjir, bahkan kondisi terparah terjadi di Kabupaten Musi Rawas, ketinggian air mencapai 3 – 4 meter bahkan ada mencapai 5 meter.
Banjir ini merupakan banjir terparah selama 10 tahun terakhir. Jika mengutip ucapan dari Gubernur Sumsel Alex Noerdin, “Persoalan banjir yang melanda 10 kabupaten kota di sumatera selatan, sangat tidak mungkin dihadapi setiap tahunnya. Seluruh pihak harus bersatu untuk memikirkan, inti dari permasalahan banjir, yakni berkurangnya atau gundulnya daerah aliran sungai.
Kondisi ini merupakan siklus 5 tahunan jika menurut pengakuan dari Walikota Palembang Eddy Santana Putra , beberapa wilayah kecamatan di kota yang dipimpinnya terendam banjir. Beragam penyakit kini mulai dialami oleh para korban banjir, ada yang gatal-gatal, ada juga yang terkena ispa.
Tentu saja, kerugian dari banjir ini sangat besar, infrastruktur rusak, baik jalan, bangunan sekolah , perkantoran dan perumahan. Dan yang pasti beban moril. Penanganan ini tidak hanya saat bencana terjadi tetapi juga pasca bencana.
Ahhh…. entahlah siapa yang mau disalahkan, apakah karena musim yang salah ataukah karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab ataukah sistem drainase di negeri ini yang tidak baik.
Jika melihat sistem drainase, hujan deras yang melanda Palembang selama 2 jam Kamis (13/2/2010) akhirnya merendam kantor Gubernur Sumsel yang terletak di Jalan Kapten A. Rivai Palembang.
Kondisi ini merupakan peristiwa yang kerap terjadi di Palembang. Air akan menggenangi jalan raya, dan akhirnya membuat kemacetan di jalan ini. Belum lagi kendaraan yang mogok akibat banjir.
Memang dalam dua jam setelah hujan reda, air akan dengan sendirinya surut. Hmmm… apakah kondisi ini harus dialami setiap kali hujan turun, kondisi ini tidak hanya terjadi di Jalan Kapten A Rivai saja, tapi juga terjadi di Jalan Angkatan 45 , Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Demang Lebar Daun tepatnya di Simpang Polda, tentu saja jalan – jalan lain di Palembang.
Banjir memang selalu menjadi momok yang menakutkan, masyarakat menyalahkan pemerintah yang gagal membangun drainase yang baik dan mudahnya memberikan izin membangun di jalur hijau ataupun di kawasan rawa- rawa yang menjadi resapan air.
Sedangkan pemerintah menyalahkan masyarakat yang berlaku yang sama, dan menuduh masyarakat berlaku jorok, membuang sampah sembarangan, menebang pohon atau menggunduli daerah aliran sungai.
Toh jika dipikir, penggundulan di kawasan penangkap air ( daerah aliran sungai ) itu izinnya dari mana ??? Ah… lagi – lagi illegal logging yang disalahkan, dan kembali masyarakat yang salah.
Jika terus terjadi hal seperti ini, saling menyalahkan satu sama lain, sampai kapan akan berakhir. Kini saatnya masyarakat berlaku bersih, menjaga kebersihan lingkungan dan tidak membuang sampah.
Di sisi lain Pemerintah juga harus lebih selektif dalam memberikan izin untuk membangun di lahan hijau, kawasan hutan daerah aliran sungai termasuk di kawasan rawa – rawa yang dapat dijadikan lahan penyerapan air.
Selain itu semua pihak harus bahu membahu mengawasi agar tidak terjadi illegal logging. Kini pemerintah dan masyarakat harus saling bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi banjir.
Jika ini dipatuhi dan dijalankan oleh kedua pihak, nantinya pasti akan dapat mengatasi masalah yang sudah menjadi seperti ritual musiman, terutama ketika musim penghujan seperti sekarang ini.
masalah kebijakan, dari dulu sumbernya cuma dua yg utama..pejabat berwenang ama konglomerat. siapa yg bisa ngasi ijin kalo bkn pejabatnya. siapa yg butuh bangun ini n itu, kalo bkn orang berduit. emang sih gak smuanya begitu, tapi dari situlah sebuah kebijakan sering lahir. udah gitu diperparah ama tingkat disiplin masyarakat yg rendah soal pelestarian lingkungan. jadinya..banjir n bencana lainya pun bermunculan.
tapi itulah hasilnya yang enak – enak mereka yang nikmatin, yang gak enak semua yang nikmatin
salah si banjir dong.. 😀
salah manusia serakah 😀
hahahahh… salah si banjir… emang siapa banjir *gedubrak*
iya jenk… salam sayang selalu 😀
🙂