Judul Buku : Eliana
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Jumlah Halaman : 519 Halaman
Harga : Rp. 60.000
ISBN : 9786028967042
My rating: 4 of 5 stars
Melahap buku ini, kata demi kata, seperti menyaksikan drama kehidupan yang benar – benar tersaji didepan mata. Saya sangat terharu, tersentuh, geram hingga menangis saat membaca buku ini. Buliran air mata itu jatuh tidak tertahankan. Seperti ada persamaan yang kuat antara aku dan Eliana, sama – sama keras kepala dan ingin terus berjuang membela kebenaran.
Eliana yang merasa selalu disuruh-suruh oleh Ibu-nya untuk masaklah, mencuci, mengepel, membangunkan Amelia, Burlian, Pukat, menjadi jam weker bagi mereka, menjadi mandor pengawas, dan merasa iri dengan adik-adiknya, membuat Eliana menjadi salah paham hingga membuat Eliana kabur dari rumahnya dan menganggap Ibunya membenci bocah 12 tahun tersebut karena dianggap tidak berhasil menjalankan tugas sebagai kakak.
Percakapan Eliana dan Wak Yati membuatku benar – benar tersentuh.
“Jangan pernah membenci Mamak kau, Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang Ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.
“Maksud Wawak, pernahkah kau memperhatikan, bukankah Mamak kau orang terakhir yang bergabung di meja makan? Bukankah Mamak kau orang terakhir yang menyendok sisa gulai atau sayur? Bukankah mamak kau yang kehabisan makanan di piring? Bukankah Mamak yang terakhir kali tidur? Baru tidur setelah memastikan kalian semua telah tidur? Bukankah Mamak yang terakhir kali beranjak istirahat? Setelah kalian semua istirahat? Bukankah Mamak kau selalu yang terakhir dalam setiap urusan.”
“Dan Mamak kau juga yang selalu pertama dalam urusan lainnya. Dia yang yang pertama bangun, dia yang pertama membereskan rumah, dia yang pertama kali mencuci, mengelap, mengepel, dia yang pertama kali ada saat kalian terluka, menangis, sakit. Dia yang pertama kali memastikan kalian baik-baik saja. Mamak kau yang selalu pertama dalam urusan itu, Amel. Tidak pernahkah kau memperhatikannya?”
Aku terdiam, memeluk bantal erat-erat. Separuh hatiku membantah semua kalimat Wak Yati, tetapi separuh hatiku yang lain mulai berpikir. Aku menelan ludah, benar, bukankah selama ini Mamak adalah orang terakhir yang bergabung ke meja makan? Orang terakhir yang makan? Padahal dia yang memasak semuanya, dia yang menghidangkan semua masakan?
“Camkan itu, Eli. Pikirkan baik-baik. Maka semoga kau paham, tidak pernah ada Ibu yang membenci anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Kau saja yang salah paham. Aku dulu juga menyesal, aku tidak pernah memperhatikan, aku hanya tahu, melihat dan mendengar.” Wak Yati menyentuh lembut bahuku, tersenyum.
Aku tetap diam.
“Nah, schat, pesan terakhirku, dua jam lagi persis tengah malam, aku seharusnya tidak bilang ini, tetapi tidak apalah, terkadang kita membutuhkan melihat langsung untuk mengerti hakikat sebuah kasih-sayang. Jika kau mengantuk, tahan kantuk kau. Berusahalah untuk tidak tidur. Dua jam lagi, saat tengah malam tiba, jika kau mendengar ada suara percakapan di luar kamarmu, pura-puralah sudah tertidur, maka kau akan melihat sendiri bukti kalimatku sebelumnya. Ibu selalu orang terakhir yang tidur di keluarga kita. Kau mengerti?”
Aku justeru menatap Wak Yati tidak mengerti.
Wak Yati tersenyum, beranjak meninggalkanku.
Ternyata Ibu-nya Eliana datang ke rumah Wak Yati dan mengucapkan terima kasih karena telah mengurus Eliana. Sayup-sayup Eliana mendengar percakapan tersebut. Saat Ibunya masuk dan membenarkan letak selimut Eliana yang sedang berpura – pura tidur. Eliana tidak dapat kuasa menahan tangis dan rasa penyesalannya.
Air mata ku pun langsung jatuh saat membaca adegan tersebut. Saat Eliana berlari memeluk Ibunya dan meminta maaf karena kesalahannya terhadap wanita yang telah melahirkannya tersebut.
Bab 26. kasih sayang mamak – 7 * Eliana
Buku ini adalah buku ke-4 dari Serial Anak-Anak Mamak, setelah Burlian (Buku ke-2), Pukat (Buku ke-3) dan Amelia (Buku ke-1).