Review Buku

Review Buku Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Visits: 1007

Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Judul Buku    : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis           : Tere Liye
Penerbit         : Bentang Pustaka
Jumlah Hal   :  512 Halaman
Harga             : Rp. 72.000,-
ISBN               : 978-979-22-79139
My rating      : 5 of 5 stars

Tere Liye sepertinya selalu punya cara baru untuk memberikan petualangan berbeda dalam setiap buku yang dihasilkannya. Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah adalah sebuah roman yang lengkap ada kisah percintaan, persahabatan, hingga makna kehidupan yang terkandung dari setiap untaian kata.

Saat membaca sinopsis novel ini, aku pun mengakui jika kita akan terus merasakan jatuh cinta, tidak hanya pada pasangan, keluarga, pekerjaan ataupun hohi yang kita lakukan. Novel ini mengisahkan perjalanan kehidupan Borno, anak muda yang mencari jati diri dan jawaban dari kehidupan yang dijalani. Senyumku tersungging saat Borno menanyakan berapa lama sampai ke hulu sungai Kapuas, hanya untuk menghitung berapa lama kotorannya tiba ke hulu sungai tersebut.

Meski hidup sederhana, namun kebahagiaan melingkupi kehidupan Borno kecil yang sangat dekat dengan Ayahnya. Namun saying kebahagiaan itu terenggut saat Ayahnya meregang nyawa tak kuasa melawan serangan ubur-ubur, hewan yang terlihat indah dengan cahayanya namun sangat mematikan. Borno kecil tidak mengerti alasan Ayahnya memilih untuk mendonorkan jantungnya daripada memilih untuk bertahan hidup.

Namun duka masa kecil tak menjadikan Borno sebagai pemuda lemah, bersama dengan dukungan kasih sayang ibunya, petuah Pak Tua yang bijaksana, sahabatnya Andi, Bang Togar, Cik Tulani dan Koh Acong membuat hari-hari Borno berwarna. Sebenarnya impian Borno tidak muluk-muluk, hanya ingin kuliah selepas dari SMA. Tapi karena tak ingin membebani ibunya, Borno pun menghapus mimpi masa kecil dan mulai mencari pekerjaan.

Beragam pekerjaan pun dilakukan “Bujang paling lurus sepanjang tepian Kapuas” julukan bagi Borno, mulai dari bekerja di pabrik karet dan terpaksa berakhir saat pabrik tersebut bangkrut. Bahkan rela dicap sebagai pengkhianat dan menerima diboikot serta dikucilkan oleh masyarakat kampung, saat Borno bekerja sebagai pemeriksa karcis di dermaga feri. Karena pelampung atau dermaga feri mematikan pasar pengemudi sepit. Hingga akhirnya Borno memutuskan memilih bekerja sebagai pengemudi sepit. Dan membuatnya melanggar wasiat Ayahnya, karena Ayahnya melarang Borno menjadi pengemudi sepit. Dukungan tak henti dari Pak Tua, Bang Togar, Cik Tulani, Andi dan masyarakat kampung yang mengumpulkan sumbangan demi sepit bagi Borno.

Perubahan kehidupan terjadi saat Borno menjadi pengemudi sepit, romansa perjalanan cintanya pun dimulai. Dari sepucuk angpau merah yang ditinggalkan seorang gadis cantik etnis Tionghoa bernama Mei. Negeri Khatulistiwa ini memang dikenal beragam etnis dan salah satunya etnis Tionghoa yang berbaur dengan pribumi. Perjuangan Borno pun terjadi setiap pagi, hanya demi melihat dan mengantar Mei. Dari yang telat menantikan Mei hingga Borno bisa tiba lebih awal dan mengantar Mei, setiap paginya. Borno selalu berusaha bisa berada di antrian ke tiga belas, saat Mei berangkat mengajar pukul 7.15 setiap harinya. Penantian 23 jam 45 menit setiap harinya menjadi terbalaskan dengan kebersamaan dengan Mei selama 15 menit.

“Cinta adalah kebiasaan. Kau tidak bisa membayangkan betapa indah proses transformasi perasaan dari sekadar sahabat menjadi seseorang yang special, macam melihat ulat berubah jadi kupu-kupu.”

Tere Liye selalu berhasil meramu cerita dengan bumbu intrik yang terkadang tak pernah terpikirkan sekalipun. Bahkan detil kehidupan Sungai Kapuas dan Pontianak yang mengajak pembaca seolah-olah melihat langsung drama di novel setebal 512 halaman ini.

Gejolak pun terjadi saat Mei memutuskan pulang ke Surabaya dan menghindari Borno. Rasa pedih ditinggalkan Mei, membuat Borno kehilangan gairah hidup. Pikirannya selalu melayang pada Mei. Borno tak menghiraukan petuah Pak Tua dan Andi yang selalu menghiburnya. Borno hanya diam mendengar pesan dari Pak Tua tentang filsafat kehidupan.

“Borno cinta hanya segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka makan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus mengumpal, membesar. Coba saja kaucueki, kau lupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat kayu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan.”

Harapan baru muncul saat Borno diajak menemani Pak Tua untuk berobat di Surabaya. Ternyata hal itu menjadi hal yang berharga karena Borno kembali bisa bertemu dengan Mei, memberikan semangat baru bagi Borno. Perjuangan cintanya dari koin demi koin, mencari nama keluarga Sulaiman atau Soelaiman dan berharap salah satu diantaranya adalah keluarga Mei. Ternyata jalan pertemuan dengan Mei malah ditempat terapi Pak Tua, Borno kembali bertemu dengan Mei yang sedang mengantar neneknya terapi. Semangat hidup Borno kembali bergelorah karena melihat Mei dan jalan-jalan mengelilingi Surabaya bersama gadis yang memenuhi ruang hatinya. Namun sayang ternyata rintangan jalan cinta keduanya kembali menghadang saat Borno berhadapan dengan Satpam Galak yang tak lain Ayah Mei dan berpesan untuk menjauhi Mei.

“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya.”

Tere Liye pun kembali mengaduk-aduk emosi pembaca karena menghadirkan tokoh baru, Sarah yang merupakan anak dari penerima donor jantung dari Ayah Borno. Seorang dokter gigi yang akhirnya ikut mengisi relung hati dan membuat pergolakan bagi Borno yang menghadapi dua pilihan berbeda. Sarah dan keluarganya sejak lama mencari Borno dan keluarganya untuk membalas budi baik dari Ayah Borno yang memberikan kehidupan bagi Ayah Sarah.

“Jangan pernah menilai sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik.”

Dengan setting maju mundur, Tere Liye berhasil membuat pembaca terpukau dengan keindahan perpindahan jalan cerita. Pertemuan Sarah dan Mei serta Borno di sebuah pesta pernikahan keluarga Sarah yang memberikan tanda dan sinyal jika ada perang hati dan kecemburuan diantara Sarah dan Mei serta kegundahan Borno.

“Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.”

Kehidupan memang tak bisa ditebak seperti itulah Tere Liye mengajak pembacanya untuk seperti berada pada kisah nyata, saat intrik kembali terjadi Ayah Andi yang mengajak kerjasama membangun bisnis bengkel. Mei yang kembali ke Pontianak memberikan dukungan penuh bagi Borno yang disaat yang sama ternyata bengkel tersebut hanyalah sebuah tameng untuk penipu mengambil uang dan meninggalkan hanya ruang kosong tanpa peralatan bengkel satupun. Hari demi hari pun dilalui Borno dengan berusaha keras membuktikan bengkel tersebut bisa hidup dan berjalan serta mengobati shock yang dialami Ayah Andi, yang hanya diam karena melihat uangnya lenyap.

Perjuangan itu pun membuahkan hasil, bengkel tersebut kembali hidup dan akhirnya ramai dengan permintaan perbaikan kendaraan dari pelanggannya. Seiring perjalanan waktu Borno pun bisa mengambil jalan suksesnya, tak hanya bisnis namun juga cinta. Meski akhirnya Borno mengetahui jika sebenarnya dokter yang bertanggung jawab saat kematian Ayah Borno adalah ibu Mei, namun Borno dengan ikhlas memilih Mei untuk tetap setiap mengisi relung hatinya.

“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya.”

Kata-kata di novel ini memang membiusku, membawaku hanyut bersama derasnya setiap huruf yang terbaca, memberiku hentakan di hati, dan memaksaku mataku tak henti meneteskan air mata. Tere Liye selalu berhasil membuat rangkaian jalan cerita yang ringan dan mengalir. Walau sederhana membaca novel ini seperti menonton sebuah film tentang Kapuas dan Pontianak lengkap dengan kehidupannya, percintaan, persahabatan dan arti kehidupan. Tere Liye mengajak kita untuk memaknai sebuah arti cinta yang sederhana, mengikhlaskan hati dan tetap tidak melupakan akar dari mana kita berasal. Meski masa lalu itu penting karena selalu mengingatkan kita, namun yang lebih terpenting adalah masa depan yang penuh kebahagiaan dengan ikhlas memaafkan dan menerima segalanya apa adanya.

“Langit selalu punya scenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.”

View all my reviews

TV journalist, traveler, writer, blogger, taekwondo-in and volunteer. Bookworm, coffee addict, chocolate and ice cream lovers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Translate »
HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com